Film Asimetris produksi Watchdoc – Ekspedisi Indonesia Biru diputar di berbagai daerah. Di Kediri, karya Indra Jati dan Dandhy Dwi Laksono itu juga mendapat apresiasi. Bertempat di halaman Taman Baca Masyarakat (TBM) Gelaran Jambu Daar el Fikr, pada Jum’at, 30 Maret 2018, nobar film dokumenter yang bercerita soal industri sawit itu digelar dalam rangka memperingati Hari Film Nasional.
Begitu film Asimetris ini dimulai, tidak ada lampu yang menyala kecuali sorot dari layar proyektor. Penonton pun hening, yang tersisa hanya bunyi dari pengeras suara yang berada sudut ruangan. Di bawah rumpun bambu, penonton yang berjumlah kurang lebih 40 orang terfokus pada layar berukuran 4×3 meter. Mereka berasal dari berbagai komunitas, mahasiswa, siswa Kampung Inggris Pare, Dalem Pojok, dan Karang Taruna Sepawon.
“Kegiatan ini merupakan salah satu program yang ada di Taman Baca,” ujar Muhammad Ikhwan, penggagas berdirinya TBM Gelaran Jambu, Jum’at, 30 Maret 2018 di lokasi acara.
Dalam pemutaran film Asimetris ini, pria yang akrab disapa Iwan Kapit itu bekerja sama dengan Info Kediri, Komunitas Film HVS, dan Bangsal JE, untuk menghadirkan tiga narasumber. Mereka adalah Wahyu Firmanto (Komunitas Kediri Baca Buku), Adhi Kusumo (Foto dan Videografi), dan Nella Indri (Yayasan Indonesia Lebih Baik). “Dari narasumber dengan latar belakang yang beragam kita tidak hanya bicara pada teknis film, tapi juga soal konten,” imbuhnya.
Awalnya pemateri yang diundang hanya Wahyu Firmanto dan Adhi Kusumo. Namun, ketika Anwaril Jalali, relawan TBM Gelaran Jambu sekaligus ketua pelaksana kegiatan menyebar poster, ia tidak sengaja bertemu dengan Nella Indri, relawan penggerak masyarakat di Sorong Selatan, Papua Barat. Alasan itulah yang melatarbelakangi Aril mengajak Nella berbagi pengalaman dalam forum diskusi usai film dokumenter selesai diputar.
Di tengah-tengah pemutaran film, air hujan turun secara tiba-tiba. Penonton yang panik seketika membubarkan diri, kemudian diarahkan untuk masuk ke dalam Taman Baca. Melihat hal tersebut Aril nampak kecewa. Selama proses persiapan, ia membeli dan menjahit sendiri kain jenis Famatex ukuran 4 x 3 meter yang digunakan dalam pemutaran film. Meski sempat menemui kendala, kegiatan tetap kondusif dan berlangsung khidmat. “Saya salut dengan teman-teman. Meskipun hujan tapi mereka tetap antusias,” kata Aril.
Diskusi dimulai tepat setelah film berdurasi 68 menit itu berakhir. Dini (Bangsal Je) selaku moderator membuka diskusi dengan salam rahayu, kemudian mempersilahkan Nella Indri mengawali diskusi. Nella yang pada saat itu mengenakan kaos bertuliskan sedia hutan sebelum hujan, menyampaikan bahwa permasalahan yang terjadi di setiap perusahaan itu sama. Pembukaan lahan sudah diatur oleh RSPO (Rountable on Suistainable Palm Oil) sebagai acuan dunia untuk industri kelapa sawit.
“Di film, perusahaan yang disorot sudah menjadi anggota RSPO, yang artinya secara sistem kerja, produksi, hingga hak-hak karyawan seharusnya sudah pakem. Namun, realitanya justru sebaliknya,” terang Nella dalam diskusi. Selain itu ia juga menjelaskan tentang pembagian lahan di Indonesia, khususnya di Papua yang menetapkan lahan HGU (Hak Guna Usaha) yang akan dibuka. 75% adalah wilayah konservasi yang tidak boleh dibuka (HCV) 25% sisanya boleh dibuka. Dengan pembagian lagi, 80% lahan inti yang digarap perusahaan, dan 20% lahan plasma yang digarap masyarakat. Ia menambahkan, realita masyarakat yang tidak terpenuhi haknya, tidak bisa dilihat hanya dari sisi perusahaan. Secara lebih jauh bagaimana pemerintah seharusnya juga turut ambil bagian dalam kasus-kasus seperti ini.
Sementara itu, Wahyu Firmanto mengawali diskusi dengan memaparkan beberapa pertanyaan. Dia mengajak peserta berpikir tentang keadaan petani sawit yang tetap miskin. Padahal sawit merupakan komoditas yang dianggap paling menguntungkan. Ia juga menyoroti banyaknya korporasi perbankan dunia yang menyerbu Indonesia untuk melakukan investasi pada industri sawit. Wahyu juga mengajak peserta diskusi untuk membahas tentang alasan mengapa sawit menjadi penyebab utama konflik agraria dan masalah lingkungan di Indonesia.
Berbeda dengan narasumber sebelumnya, Adhi Kusumo membahas tentang teknis videografi. Ia juga mengajak peserta diskusi untuk menaruh perhatian kepada isu-isu global, tapi tidak mengabaikan isu-isu lokal. Ia menjelaskan bahwa segala sesuatu yang besar berawal dari sesuatu yang kecil. “Misalnya, seperti dalam sebuah pertemuan. Kenapa kita selalu disuguhi dengan air minum kemasan. Padahal air kemasan, botolnya dari plastik. Sementara airnya juga konflik. Perusahaan sering berkonflik dengan penduduk, karena sumber air diambil untuk perusahaan-perusahaan besar,” jelasnya dalam diskusi.
Film dokumenter merupakan film faktual, dimana masalah dan aktor yang terlibat di dalamnya adalah nyata. “Film dokumenter bisa dijadikan alat untuk mengungkap problematika di tengah masyarakat. Tidak melulu soal isu-isu besar, bisa juga dengan isu-isu kecil dan sederhana yang ada di sekitar kita,” ujar Adhi. (Santi Dwi Efianti)
Editor: Fatikhin