(Keterangan foto: M Irfan Ilmie berswafoto di gerbong kereta api cepat Tianjin-Beijing yang sepi, beberapa jam setelah lockdown Wuhan, pada 23 Januari 2020)
DUA hari menjelang perayaan Tahun Baru Imlek 2020, pemerintah negara China menutup Kota Wuhan. Keputusan mendadak ini untuk memutus mata rantai penularan virus mematikan yang mengancam sekitar sepuluh juta penduduk di Ibukota Propinsi Hubei itu. Belakangan, WHO mengidentifikasi virus yang diduga pertama muncul di pasar ikan Huanan pada akhir Desember 2019 tersebut, sebagai Coronavirus Disease (Covid-19).
Peristiwa itu digambarkan M Irfan Ilmie, Kepala Biro ANTARA di Beijing, selayaknya kawasan mati yang mencekam. Karena status lockdown di Wuhan, secara cepat mempengaruhi aktivitas di kota-kota lain. Seperti pelarangan semua acara perayaan Imlek, dan penghentian jadwal-jadwal perjalanan transportasi massa. Tak lama berselang, sejumlah kota besar di China turut diisolasi oleh otoritas setempat.
Pria kelahiran Pasuruan, Jawa Timur ini, ikut merasakan bagaimana negara raksasa ekonomi dunia menghadapi terjangan virus corona. Riwayat awal kemunculan pagebluk hingga detik-detik karantina wilayah Negeri Panda tersebut, ia rekam menjadi sebuah buku. Lektur yang dirilis penerbit Gramedia itu, berjudul “Bertahan di Wuhan: Kesaksian Wartawan Indonesia di Tengah Pandemi Corona”.
“Saya hanya mecoba melihat sesuatu secara nyata. Proses penulisan buku ini berangkat dari fakta yang ada di China,” kata Irfan, pada Selasa, 7 April 2020. Buku berisi 17 kisah yang menyertai peristiwa mencekam di Wuhan ini, telah tersedia dalam bentuk e-book di laman e-books.gramedia.com.
Sejak tahun 2017, Irfan mengemban tugas di Beijing, kota yang berjarak sebelas jam perjalanan darat dari kawasan Wuhan. Ia adalah satu-satunya pewarta Indonesia, yang mendapatkan akreditasi tetap menjalankan tugas jurnalistik di China.
Penguasaan bahasa Mandarin yang memadai, mempermudah alumnus Universitas Darul Ulum, Jombang, Jawa Timur ini melakukan peliputan berbagai kejadian di sana. Baik menyangkut bidang sosial, budaya, ekonomi dan politik. Termasuk peristiwa perjangkitan virus corona yang kini telah menjalar ke seluruh dunia.
Dalam bukunya, Irfan menyorot pertahanan kokoh negeri Tembok Besar yang hampir roboh, saat berusaha menghentikan pukulan wabah covid-19. Dalam hitungan cepat, semua sektor vital negeri Tirai Bambu itu luluh lantak. Namun dengan melalui berbagai pengorbanan, penduduk China berangsur bangkit dan pulih dari bencana.
Menurut bapak dua anak ini, kebijakan China mengisolasi wilayahnya, terbilang berhasil membendung pertumbuhan kasus corona. Tapi upaya lockdown belum tentu berjalan mulus di negara lain. Karena bermacam faktor, seperti sistem politik dan kekuatan infrastruktur ekonomi masing-masing daerah.
“Beberapa negara bercirikan demokrasi mencoba melakukan hal yang sama, seperti Italia, India, Prancis, Malaysia. Tapi hasilnya tidak segemilang di Wuhan,” kata pria yang pernah nyantri di Pondok Ploso Kediri itu.
Irfan menegaskan, bahwa fakta yang dicantumkan dalam buku setebal 103 halaman itu, tidak dimaksudkan agar diterapkan di negara lain. Namun bisa menjadi referensi bagi pemangku kepentingan, dalam ikhtiar menanggulangi pandemi.
Sejumlah potret pilu warga terdampak virus corona tak luput dari pengamatan Irfan. Di antaranya, kisah seorang istri yang terpisah dengan sang suami karena karantina wilayah. Ia pun menyisipi kehidupan masyarakat muslim China, yang berjibaku dengan serangan wabah sembari tetap menjalani ibadah.
Dia juga bercerita tentang keterlibatan arsitek asli Jember, Jawa Timur, dalam membangun rumah sakit Huoshenshan. Ruang perawatan yang mampu menampung seribu pasien corona itu, didirikan hanya dalam waktu sembilan hari. Dikisahkan pula, perjuangan Tim Lima Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Beijing, saat memasuki sarang corona. Mereka mempertaruhkan nyawa, untuk membantu pemulangan 238 warga Indonesia yang terjebak di Wuhan.
Sosok kelahiran 1973 ini meyakini, bahwa kepedulian serta kerjasama antar kalangan adalah hal yang harus digencarkan selama menghadapi wabah.
“Kesampingkan kepentingan politik. Upayakan cara, bagaimana wabah bisa diperangi tanpa merugikan banyak nyawa,” katanya. (Naim Ali)