TEORI yang mengatakan agar keluar dari zona nyaman, barangkali tidak semudah ketika diucapkan. Namun, banyak pula orang yang mengejawantahkan konsep tersebut tanpa perasaan ragu. Misalnya, Riyanto Suyatmoko. Jabatan sebagai manager unit Prudential Kediri dia tinggalkan, dan memilih menekuni usaha franchise minuman Teh Poci.
Keputusan melepas capaian karir yang dibangun belasan tahun, sudah pasti sangat mengagetkan.Terutama, oleh rekan-rekan kerja di kantor asuransi. Ada yang menyayangkan, ada pula yang melemparkan cemoohan dan jadi bahan tertawaan.
“Sebagian dari mereka menganggap keluar dari Prudential adalah langkah konyol,” ujar Riyan, Rabu 5 Februari 2019, di kediamannya.
Menurut pria kelahiran Yogyakarta, respon yang ditunjukkan oleh kawan sesama pegawai asuransi itu amat wajar. Dari manager yang memimpin lebih dari seratus pegawai, menjadi penjual es teh; dari sosok yang dulu berpenampilan formal dan necis, berubah ke gaya sederhana, tentu menuai tanggapan beragam. Baik itu positif maupun negatif.
Di rumahnya yang berlokasi di Perumahan Griya Indah Permatasari Blok D-11, Jalan Penanggungan, Kota Kediri, Riyan berkisah seputar hal-hal yang melatarbelakangi keputusannya. Pada satu titik, dia merasa tidak dapat lagi menikmati pekerjaan yang telah digeluti selama lebih dari sepuluh tahun itu. Meskipun perolehan gaji yang diterimanya mencapai hampir sepuluh juta per bulan.
“Saya lebih merasakan nilai keberkahan dan perjuangan pada mata pencaharian sekarang,” kata pria empat puluh satu tahun ini.
Riyan menganggap, tuntutan pekerjaan di kantor seperti beban untuk mencapai target, tidak membuatnya bebas bereksplorasi. Selain itu, jam kerja dari pagi hingga malam hari menjadikannnya kehilangan waktu bersama istri dan anak-anaknya. Ketika ada kesempatan resign dari posisi manager, dia sama sekali tak ragu. Dia resmi mengundurkan diri pada tahun 2015, tekadnya pun bulat untuk berwirausaha.
Selepas itu, aktivitas kesehariannya tak banyak berubah. Riyan tetap mulai bekerja di pagi hari, sama seperti sewaktu menjadi pegawai. Bedanya, kini dia banyak berurusan dengan barang dapur seperti panci, teko, dan kompor. Kegiatannya memasak dan meramu teh dia mulai setelah subuh, tepatnya jam 5 pagi. Butuh waktu sekitar satu jam untuk menyelesaikan proses tersebut.
Olahan teh yang sudah melalui penyeduhan, dimasukkan ke dalam dua buah jerigen bervolume 5 liter. Lengkap dengan persediaan karamel atau gula pasir yang dilelehkan. Untuk menuju ke tempatnya berjualan, dia mengendarai sepeda motor dengan penambahan obrok atau keranjang berbahan kain di dua sisi belakang.
“Teh saya pilih, karena minuman itu dapat dinikmati orang dari segala usia, berbeda dengan susu ataupun kopi,” jelas Riyan.
Lokasi yang disasar oleh Riyan adalah sekolah-sekolah yang berada di Kota Kediri. Di awal usaha bergulir, dia hanya membuka satu gerai saja. Empat tahun kemudian, ikhtiar makin berkembang. Gerobak berisi perlengkapan seperti alat pres gelas plastik, ice box, dan sedotan, sekarang berdiri di tiga tempat. Antara lain di kantin SMAN 8 Kediri dan SMAN 4 Kediri, serta di depan SMK 2 PGRI Kediri.
“Dengan usaha ini, saya dapat memberikan kesempatan kerja buat orang lain,” kata lelaki yang pernah bekerja di perusahaan farmasi Kalbe Farma itu. Riyan mengaryakan tiga orang yang bertugas di masing-masing tempat tersebut. Jam kerja mereka disesuaikan dengan waktu efektif pelajaran sekolah. Pukul 7 pagi, hingga pukul 2 sore.
Dalam menjalankan bisnis waralaba minuman ini, Riyan baru merasa jika ilmu yang dipelajari semasa kuliah sangat berguna. Konsep mengatur modal dan keuntungan bersih maupun kotor, sudah dikenalinya ketika duduk di bangku perguruan tinggi. Tepatnya, di Jurusan Manajemen Pemasaran Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Tiap cup es dijual dengan harga tiga ribu rupiah. Dalam sehari, Riyan dapat menjajakan sekitar 400 gelas, sekalipun di musim penghujan. Jika cuaca tengah terik, jumlah tersebut dapat bertambah 20 persen, hingga 500 gelas. Bila keuntungan bersih dikalkulasi, laba yang diraup per bulan hampir setara dengan gajinya sewaktu masih menjadi manager. Yakni, sekitar sembilan juta rupiah.
Melihat potensi yang bisa digali masih terbuka lebar, dia semakin bersemangat mengembangkan usaha. Riyan berencana untuk membuka dua gerai tambahan pada bisnis franchise tersebut. Selain itu, ada kemungkinan membuka peluang bisnis di sektor berbeda, di luar kuliner.
“Saya menyesal, kenapa tidak mulai berbisnis sejak masih muda dulu,” katanya. (Kholisul Fatikhin)