MESKI proklamasi sudah digaungkan pada 17 Agustus 1945, bukan jaminan bahwa Indonesia telah merdeka seutuhnya. Pasukan militer Jepang yang tersebar di berbagai daerah, belum menyerah. Misalnya, di wilayah Kediri, Jawa Timur. Pertempuran mengambil alih kekuasaan dari serdadu Nippon masih berlangsung sangat alot.
Potret bersejarah di kawasan yang terbelah arus Sungai Brantas ini dapat dilihat melalui relief yang terletak di Alun-alun Kota Kediri. Berbagai potongan gambar menampilkan visualisasi perjuangan masyarakat Kediri melawan tentara Jepang pada 75 tahun lalu. Keberadaan karya seni dua dimensi menghiasi pemandangan di sekeliling Monumen Mayor Bismo.
“Kediri bisa lepas dari pendudukan Jepang berkat jasa besar Mayor Bismo,” kata Novi Bahrul Munif, Ketua Pelestari Sejarah-Budaya Kadhiri (Pasak), Kamis 6 Agustus 2020.
Dari kajian literatur yang dilakukan Novi, ditemukan fakta bahwa Mayor Bismo adalah orang pertama di Kediri yang mengetahui jika Indonesia sudah merdeka. Kabar tentang proklamasi yang diikrarkan Soekarno-Hatta berhasil didapat dari siaran radio yang sangat terbatas.
Saat itu, Bismo masih tergabung dalam pasukan Pembela Tanah Air atau PETA. Di kesatuan militer yang dibentuk Jepang, dia menjabat sebagai Shudanco atau pangkat militer setingkat kapten. Tokoh yang cukup dikenal dengan gelar serupa salah satunya Shudanco Supriadi, pemimpin pemberontakan pasukan PETA saat penjajahan Jepang di Blitar.
Novi melanjutkan, usai memperoleh kabar bahwa Indonesia merdeka, Shudanco Bismo segera berkoordinasi dengan para komandan PETA Kediri. Salah satunya, mengajak Daidanco Soerahmat untuk menggelar rapat. Daidanco merupakan jabatan setingkat komandan batalyon daerah.
Rapat koordinasi kemerdekaan tersebut dilakukan bersama berbagai elemen masyarakat. Pertemuan penting ini berlangsung di gedung yang kini digunakan sebagai Sekolah Taman Siswa di Jalan Pemuda No. 16 Kota Kediri.
“Di hadapan para tokoh masyarakat Kediri, Shudanco Bismo mengabarkan bahwa Jepang sudah menyerah dan Proklamasi telah dibacakan,” ujar sarjana Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang.
Pertemuan kecil yang diinisiasi Shudanco Bismo melahirkan keputusan menggelar rapat besar secara resmi. Berlangsung di gedung Societeit Phoenix atau Gedung GNI, rapat dipimpin Syucokan Kediri, R. Abdulrahim Pratalykrama. Syucokan adalah jabatan di tingkat provinsi pada masa penjajahan Jepang di Indonesia. Di era sekarang dikenal dengan sebutan gubernur.
Pada malam hari tanggal 19 Agustus 1945, pertemuan berlanjut dengan koordinasi antar kesatuan militer. Mereka berencara melakukan pengepungan dan pelucutan senjata ke pos-pos tentara Jepang di Kediri. Sayangnya, aksi itu gagal.
Tidak menyerah begitu saja, keesokan hari pada 20 Agustus 1945, aksi serupa kembali digencarkan. Kali ini, dilakukan dengan dukungan masyarakat Kediri. Pelucutan senjata dimulai dari Kantor Polisi Karesidenan yang sekarang difungsikan sebagai Kantor Polresta Kediri Kota.
Aksi kemudian berlanjut dengan pengepungan markas Kempetai di Jalan Brawijaya Kota Kediri.Kempetai merupakan satuan polisi militer Jepang yang ditempatkan di seluruh daerah jajahan. Pelucutan senjata di markas kempetai sangat alot dan terjadi kontak senjata.
“Pelucutan senjata itu dipimpin Shudanco Bismo,” kata Novi.
Menurutnya, saking sengitnya pertempuran, Syucokan Kediri, R. Abdulrahim Pratalykrama terpaksa bernegosiasi dengan pimpinan tentara Jepang. Hasilnya, pihak Jepang memutuskan untuk menyerah. Bendera merah putih akhirnya berhasil dikibarkan pertama kalinya di Kediri, menggantikan Hinomaru: bendera nasional Jepang dengan sebuah lingkaran merah di tengah bidang putih.
“Seluruh senjata pasukan Jepang diserahkan dan Shudanco Bismo membagikannya kepada pejuang-pejuang Republik,” ujar Alumni Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2 Kota Kediri itu.
Peristiwa tersebut membuat Shudanco Bismo disegani lawan maupun kawan. Dia berhasil memobilisasi massa dan sukses melakukan pelucutan senjata tentara Jepang di Kediri.
Beberapa hari setelah kemerdekaan, Presiden Soekarno membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Bismo lalu dipercaya sebagai Komandan Batalyon Sadhi Yudha. Pasukan itu berada di bawah Brigade S Karesidenan Kediri. BKR kemudian berubah nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) melalui maklumat 5 Oktober 1945.
Di masa awal kemerdekaan itu, Kapten Bismo berkontribusi menjadikan Brigade S Karesidenan Kediri sebagai pasukan tangguh. Dari segi persenjataan, paling lengkap dibandingkan daerah lain.
Pada tahun 1948, Presiden Soekarno melakukan Rekonstruksi dan Rasionalisasi (RERA) di tubuh Militer. Salah satu kebijakan turunannya adalah pembagian militer di Pulau Jawa menjadi 4 Divisi. Kapten Bismo dipilih menjadi Kepala I Staf Pertahanan Djawa Timur (SPDT) yang berkantor di Madiun.
Sayangnya, pada 18 September 1948, terjadi Pemberontakan Komunis di Madiun. Peristiwa itu dikenal dengan Madiun Affair. Seluruh anggota SPDT ditahan dan dieksekusi oleh kaum pemberontak, termasuk Kapten Bismo. Sebagai gelar terakhir, dia dianugerahkan gelar Mayor. Sehingga, sekarang dia populer dengan nama Mayor Bismo.
“Sampai saat ini, tempat persemayaman jenazah Mayor Bismo belum diketahui. Begitu pula dengan riwayat keluarganya,” kata Novi.
Dari analisa sementara yang digelar Novi dan komunitas Pasak, Mayor Bismo kemungkinan berasal dari keluarga terpelajar. Sebab, di era pendudukan Jepang tidak sembarang prajurit bisa menjabat sebagai Shudanco. Pemegang jabatan itu pasti diambil dari kalangan bangsawan.
Bagi masyarakat Kota Kediri, nama Mayor Bismo kini melekat sebagai salah satu ikon. Selain monumen, Mayor Bismo juga diabadikan sebagai nama jalan di Kota Kediri. Upaya itu menjadi penanda sekaligus pesan bahwa jasa-jasanya akan selalu diingat dari generasi ke generasi, sebagai pewaris nilai perjuangan 1945. (Kholisul Fatikhin)
Discussion about this post