GAMELAN bertalu-talu ketika tirai yang menutupi panggung dibuka perlahan. Irama rancak musik tradisional itu menjadi penanda jika pentas ketoprak segera dimulai. Di belakang panggung, para pemain pria merias diri dengan bertelanjang dada, mengenakan jarit, dan mahkota keemasan. Sedangkan pemain wanita sibuk menebalkan bedak serta berlatih tembang Jawa.
Saat para aktor itu sudah siap tampil, Jahir Sutikno tampak gelisah. Pria yang akrab disapa Lelur itu adalah pimpinan Ketoprak Tobong Mitra Erlangga Jaya asal Kediri, Jawa Timur. Mantan penyiar radio ini duduk termenung di kursi lincak dekat loket. Raut mukanya semakin memelas ketika tiba-tiba turun hujan deras.
“Penonton yang datang baru 10 orang, tapi kita tetap pentas,” kata Lelur, Sabtu, 30 Desember 2023.
Beruntung, sekitar setengah jam kemudian hujan berhenti. Saat pentas di malam minggu, biasanya jumlah penonton lebih dari 50 orang, bahkan pernah hampir seratus penonton. Tersebab hujan, malam itu totalnya hanya 30 penonton yang kebanyakan adalah orang lanjut usia atau lansia.
Ketoprak Mitra Erlangga Jaya yang dikelola Lelur ini menjadi satu-satunya ketoprak tobong yang masih eksis di kawasan Kediri, bahkan Jawa Timur. Di saat ketoprak lain berganti menjadi kelompok “tanggapan” atau panggilan saat ada hajatan, mereka masih setia berkesenian di jalur tobong. Istilah ini merupakan singkatan dari bahasa Jawa yaitu toto bongkar.
Frasa toto bongkar artinya mudah ditata dan dibongkar. Sebutan ini diambil dari kontruksi semi permanen pada hunian dan panggung. Sebab, para seniman ketoprak ini sering berpindah-pindah atau nomanen.
“Kami pindah tempat rata-rata setiap 6-8 bulan, tergantung antusias penonton, kalau sepi kami pindah,” kata Lelur.
Kehidupan pemain ketoprak ini mirip kaum gypsy atau grup sirkus keliling di Amerika dan Eropa. Sama seperti tobong, kelompok ini sering berpindah-pindah. Jika di era lampau menggunakan kereta kuda, kaum gypsy yang masih eksis kini mengendarai mobil caravan.
Usai berpindah-pindah lokasi di kawasan Jawa Timur, para seniman ketoprak itu kini singgah di Lapangan Desa Sambirejo, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri. Mereka hidup bersama di gubuk-gubuk yang didirikan di belakang dan samping panggung ketoprak. Satu gubuk berdinding banner bekas ini diisi satu keluarga yang terdiri dari suami, istri, dan anak.
Ketoprak Tobong Mitra Erlangga Jaya rutin tampil seminggu tiga kali pada senin, rabu, dan sabtu. Meski disaksikan sedikit orang, malam itu para pemain tetap antusias menampilkan lakon Sri Huning Mustika Tuban.
Dalam penyajian sandiwara, Lelur mempercayakannya pada Wardoyo. Sebagai sutradara, Wardoyo bertugas membagi peran, alur cerita, serta mengatur turun naiknya tirai panggung. Di tengah pertunjukan, Lelur juga tampil menjadi pelawak.
“Kita tidak pernah pakai naskah, karena memang sudah hafal,” ujar Lelur usai pementasan.
Pria 56 tahun ini menjelaskan, pentas malam itu terhitung rugi. Sebab, penghasilan hanya didapat dari tiket seharga 5 ribu rupiah. Sedangkan penontonnya hanya 30 orang. Pendapatan dari karcis tentu tidak cukup untuk menutup biaya listrik, perawatan alat, serta honor para pemain dan penabuh gamelan.
Dalam sekali pentas, tiap pemain dibayar 15 ribu rupiah. Jika penonton membeludak, otomatis bayaran mereka akan naik.
Untuk urusan administrasi dan pembagian honor, Lelur dibantu istrinya, Ismuharsasi atau yang akrab disapa Siwok. Sebab, Lelur tidak pernah mengenyam pendidikan. Di usianya yang kini menginjak lansia, dia tidak bisa membaca dan menulis alias buta huruf.
“Saya ikut ketoprak sejak remaja hingga lupa sekolah,” kata Lelur.
Pasangan suami istri ini mendirikan Ketoprak Tobong Mitra Erlangga Jaya pada 2006. Anggotanya berjumlah 38 orang, yang kebanyakan adalah bekas pemain Ketoprak Siswo Budoyo. Ketoprak asal Tulungagung ini pernah berjaya pada 1980an, hingga akhirnya bubar pada 2001.
Selama 18 tahun berdiri, Ketoprak Tobong Mitra Erlangga Jaya berkeliling di kawasan Bojonegoro, Nganjuk, Jombang, dan Kediri. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, mereka juga bekerja menjadi pengamen, buruh serabutan, dan pengajar seni di sekolah.
“Ketoprak itu sudah kalah, saya tidak yakin bisa berjaya lagi seperti dulu,” kata Siwok.
Menurut perempuan beretnis Tionghoa itu, para pemain juga tidak mendapat bayaran layak. Uang 15 ribu rupiah sekali tampil hanya cukup untuk membeli bensin. Mereka masih mau tampil karena kecintaan pada kesenian ketoprak mengalahkan segalanya, termasuk materi. Bahkan, mereka rela membeli bedak maupun pakaian pentas dengan uang pribadi.
Lelur dan Siwok tak tahu entah sampai kapan bisa mempertahankan ketoprak tobong. Beberapa tahun terakhir, kondisi Siwok semakin melemah karena diabetes dan darah tinggi. Namun, pasangan suami istri itu masih bertekad mempertahankan kesenian ini. Mereka tidak rela ketoprak tobong yang sudah eksis puluhan tahun itu punah. (Kholisul Fatikhin, Moh. Yusro Safi’udin)
Discussion about this post