BARANGKALI ada ribuan atau malah jutaan orang di dunia yang memutuskan untuk merajah anggota badannya. Entah untuk alasan identitas, status sosial, lifestyle, estetika, atau mungkin jimat keberuntungan. Terlepas dari stigma tabu, seni tato terus berkembang, bahkan berumur panjang. Diyakini sudah muncul sejak 3000 SM, hingga kini tato masih digemari.
Di Indonesia, gerai-gerai penyedia jasa tato banyak berdiri di berbagai daerah, termasuk di Kediri, Jawa Timur. Meskipun jumlahnya tak marak seperti halnya minimarket, beberapa kios tato dapat dijumpai di kawasan yang terbelah oleh aliran Sungai Brantas ini. Salah satunya, yaitu Clinyk Tattoo Studio yang dikelola oleh Wahyu Setiobudi di Desa Gurah, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri dan di dekat Kediri Mall, Kota Kediri.
Sudah belasan tahun, pria berusia empat puluh tahun itu menekuni lukis tubuh yang masuk dalam seni subkultur tersebut. Beberapa teknik dasar memasukkan pigmen atau zat warna ke dalam lapisan kulit ini sudah diasah sejak tahun 1991. Ia banyak belajar dari pamannya yang membuka jasa serupa di Pasar Setono Betek Kediri.
“Setelah lulus dari bangku sekolah dasar, saya mulai belajar menato,” kata Budi Pethak, sapaan akrabnya, Sabtu, 1 September 2018.
Semenjak itu, ikhtiar untuk terjun ke dunia seni rajah pun berlanjut ke ranah yang lebih profesional. Pada tahun 2007, Pethak membuka klinik tato di salah satu mall di Kota Surabaya. Empat tahun kemudian ia memutuskan pulang dan memindahkan usahanya ke Kediri agar dekat keluarga. Kini selain tato, Budi juga menerima jasa sulam alis, body piercing (tindik), dan body painting.
Dalam menjalankan bisnisnya, Pethak tidak sembarangan menerima konsumen. Mereka yang ingin menggunakan jasanya tak lantas langsung diladeni. Dia mematok syarat tertentu. Misalnya, untuk pengerjaan tato permanen, diharuskan berusia di atas usia 17 tahun. Bagi yang berumur di bawah itu, akan tetap dilayani tetapi hanya dengan tato temporary (tidak permanen).
Bagi mereka yang baru pertama kali ingin mendapat tato permanen, Pethak memberi penjelasan seputar resiko, baik secara medis maupun moral. Tak jarang, dia menyuruh pulang pasien untuk berpikir ulang. Jika keinginan mereka sudah bulat, barulah tato dikerjakan.
Belasan tahun menekuni dunia jasa tato, ratusan motif pernah ia garap. Mulai yang mudah, hingga level tersulit dengan gradasi warna tertentu. Pasien pun berbeda-beda dalam memilih anggota tubuh yang ditato. Ada yang di tangan, kaki, leher, punggung, termasuk yang di dekat area sensitif, pernah ia kerjakan.
“Kalau dekat area sensitif, saya tutup dengan kain dan sebisa mungkin tidak terlihat, apalagi tersentuh,” terang Pethak di studionya. Beberapa hal teknis pengerjaan tato maupun tindik di daerah rawan, dibantu oleh istrinya, Rosalia Putri. Kerap kali Putri harus mondar-mandir dari Gurah ke studio di dekat Kediri Mall, untuk mendampingi Pethak bekerja meskipun hingga larut malam.
Soal publikasi jasa, Pethak dan sebagian seniman tato yang lain mengandalkan media sosial untuk menggaet konsumen. Kemajuan di bidang teknologi komunikasi itu memang memudahkan segala hal, salah satunya untuk promosi. Namun, saat mengedarkan foto hasil karyanya ke jagat maya, dia mengaku sangat berhati-hati.
Menurutnya, publikasi karya tidak boleh semau-maunya. Ketika foto dikonsumsi khalayak luas, maka harus mengutamakan nama baik konsumen. Terutama jika tato yang diunggah berada di daerah sensitif.
Dia berharap, para penyedia jasa tato mengindahkan citra konsumen. Foto yang diunggah harus fokus menampakkan keindahan karya tato, jangan mengekspos seluruh anggota badan hingga terlihat setengah telanjang.
“Meskipun tidak secara yuridis tertulis dalam ayat-ayat hukum, tapi hal tersebut semacam kode etik profesi yang harus dipatuhi,” kata Pethak. (Kholisul Fatikhin)