ADA gula ada semut, ada perang ada senjata. Kalimat tersebut barangkali tepat untuk menggambarkan kisah Pabrik Gula Mrican di Kediri, Jawa Timur saat meletusnya Agresi Militer Belanda tahun 1947-1949. PG Mrican yang sebelumnya memproduksi gula diubah menjadi pabrik senjata. Upaya tersebut dilakukan sebagai upaya melawan Belanda yang ingin merebut kembali kedaulatan Indonesia.
Pabrik yang berlokasi di Kelurahan Mrican, Kota Kediri itu sebelumnya sudah berhenti beroperasi ketika pendudukan Jepang pada 1942. Macetnya produksi gula terus berlanjut hingga berlangsungnya Agresi Militer Belanda kedua 1948. Gudang, bangunan, dan mesin pabrik pengolahan tebu dimanfaatkan untuk merakit senjata.
“Sejumlah surat kabar Belanda melaporkan aktivitas perakitan senjata di PG Mrican,” ujar Yazib Bastomi, Senin 4 April 2022.
Surat kabar itu di antaranya De Nieuwsgier, Nieuwe Courant, dan De Gooi en Emlander. Dalam narasi koran Belanda tahun 1948, pabrik Mrican disebut dengan Munitie-fabriek Mritjan.
Senjata api yang dibuat di PG Mrican diketahui adalah mortir atau peluncur granat. Sejumlah senjata beserta amunisinya kini disimpan di Museum Brawijaya Malang. Mortir tersebut memiliki kaliber 50 dan 90 Milimeter yang tergolong meriam artileri ringan.
Menariknya, narasi di papan informasi museum menyebut jika mortir itu dibuat dari potongan logam di sekitar pabrik. Artinya, komponen tidak dibuat khusus untuk kebutuhan senjata. Laras pelontar menggunakan bekas tiang telepon dan listrik yang dipotong. Meski seadanya, mortir itu cukup membantu prajurit Indonesia di sejumlah pertempuran mempertahankan kemerdekaan.
“Saking sederhananya, mortir hasil berdikari ini tidak dilengkapi alat pengontrol. Sehingga, tidak diketahui pasti sejauh mana daya jangkau tembaknya,” kata anggota Komunitas Pelestari Sejarah Budhaya Kadiri atau PASAK.
Tersebab tidak memiliki fitur pengontrol, dalam beberapa kali penggunaan mortir tidak mau melontarkan peluru. Amunisi itu justru meletus di dalam tabung besi itu.
Salah satu insiden kecelakaan diceritakan dalam buku Garis Depan Pertempuran Laskar Hizbullah 1945-1950 yang ditulis Ayuhanafiq, sejarawan Mojokerto. Laskar Hizbullah merupakan kumpulan para kyai, pemuda Islam, dan para santri rakyat pada masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.
Ketika berperang melawan Belanda di Pacet, Mojokerto pada 1949 Laskar Hizbullah mendapat dukungan senjata dari Mayor Jendral Soengkono, Panglima Divisi VI Tentara Rakyat Indonesia. Senjata berupa mortir dan granat itu diproduksi di pabrik Mrican. Perlengkapan perang itu beroperasi tanpa kendala, berhasil memberi perlawanan pada tentara Belanda.
Namun sayang, satu peluru mortir tidak berhasil terlontar. Peluru itu meledak pada tabung larasnya hingga menyebabkan lima pejuang gugur. Insiden kecelakaan itu ternyata bukan satu-satunya. Di kawasan lain seperti Jogjakarta dan Cirebon yang juga memiliki pabrik senjata, mortir bikinan sendiri itu terkadang error.
Pabrik Gula Mrican kembali difungsikan sebagai pabrik pengolahan tebu ketika situasi politik di awal tahun kemerdekaan itu mereda. Seluruh aset PG Mrican berhasil dikuasasi Indonesia dengan adanya proses nasionalisasi pada 1957-1960an. Hingga sekarang, pabrik yang pernah menjadi tempat pembuatan mortir itu masih terus memproduksi gula di bawah kendali PT Perkebunan Nusantara (PTPN) X. (Kholisul Fatikhin)
Discussion about this post