PADA abad 14 Masehi, kawasan Kediri masih menjadi pusat ajaran Bhairawa Tantra. Kuatnya kepercayaan pemuja Dewi Durga ini membuat Sunan Bonang kesulitan mengajak masyarakat memeluk Islam. Warga beramai-ramai menolak kehadiran pencipta tembang Tombo Ati itu, bahkan tak diizinkan menjejakkan kakinya di Kediri.
Kisah ini diceritakan dalam naskah-naskah kuno seperti Serat Babad Kediri dan Babad Sangkala. Saking jengkelnya pada warga Kediri, ulama bernama lengkap Raden Maulana Makdum Ibrahim ini merusak arca-arca pemujaan. Aliran Sungai Brantas juga dibelokkan, sehingga sejumlah desa dilanda kekeringan. Penolakan itu membuat Sunan Bonang meninggalkan Kediri dan beralih melanjutkan dakwahnya ke Demak.
“Dalam Serat Babad Kediri, Sunan Bonang digambarkan sebagai sosok yang radikal,” kata Burhan Abdul Latief, Wakil Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) Nganjuk, Selasa, 19 Maret 2024.
Dalam folklor yang berkembang, konon kedatangan Sunan Bonang ke Kediri dihadang Buta Locaya. Makhluk mitologi ini dipercaya sebagai abdi Raja Jayabaya. Alhasil, misi mengislamkan Kediri menuai kegagalan.
Menurut Gus Burhan, meski kandas di Kediri, dakwah putra Sunan Ampel itu berhasil di kawasan Nganjuk. Salah satu keberhasilannya yaitu mengubah Ritual Ksetra Bhiarawa Tantra menjadi tradisi kenduri atau ambengan. Persembahan ritual yang awalnya berupa mayat manusia, diganti ingkung ayam. Mantra-mantra yang diucapkan juga dialihkan menjadi lantunan sholawat.
“Dari data yang kami himpun, pendekatan dakwah beliau di Nganjuk menggunakan pendekatan budaya dan seni,“ kata Gus Burhan.
Narasi penyebaran Islam Sunan Bonang ini kemudian ditulis dalam buku ”Dari Sunan Bonang Hingga NU Prambon”. Buku yang terbit pada 2022 ini diterbitkan oleh Lakpesdam NU Nganjuk.
Kesuksesan dakwah Sunan Bonang ditandai dengan pendirian musholla di Singkal. Kawasan ini sekarang dikenal dengan Desa Singkalanyar, Kecamatan Prambon, Kabupaten Nganjuk. Tempat ibadah dibangun usai Sunan Bonang menaklukkan pimpinan dari aliran Bhairawa Tantra. Sehingga, para pengikutnya beralih memeluk Islam.
“Keberadaan musholla ini bukan fiktif karena masuk dalam catatan Belanda,” kata Gus Burhan.
Data Belanda ini ditulis Antoni Heard pada abad 16. Saat itu, ditemukan musholla berdinding batu di Singkalanyar. Bangunan peninggalan Sunan Bonang ini kemudian dijadikan gudang persenjataan oleh pasukan Belanda.
Menurut cerita tutur warga, lokasi musholla ini adalah tempat meditasi Sunan Bonang. Di area petilasan terdapat batu berukuran panjang 50 sentimeter dan lebar 60 sentimeter.
“Batu itu awalnya ada di tepi sungai Brantas, lalu dipindahkan agar tidak hilang dan mempermudah perawatan,” kata Imam Ghozali, juru kunci petilasan.
Pria 72 tahun itu menjelaskan, batu yang sudah retak ini dulunya adalah tempat duduk Sunan Bonang. Ketika hendak melawan Buta Locaya dan para tokoh Bhiarawa Tantra, Sunan Bonang bermeditasi di lokasi tersebut.
Meski upaya spiritual, pertempuran fisik, dan dakwah melalui kebudayaan sudah dilakukan, Sunan Bonang tetap gagal menaklukkan Kediri. Kala itu, masyarakat Kediri kukuh pada ajaran Bhairawa Tantra dan menolak Islam.
Berbekal keberhasilan menyebarkan Islam di Singkal, Nganjuk, dakwah dilanjutkan ke Demak. Syiar Islam yang dikemas dalam kebudayaan Jawa semakin disempurnakan. Alhasil, metode dakwah melalui kesenian ini berhasil meyakinkan masyarakat Demak memeluk Islam tanpa adanya peperangan. (Dimas Eka Wijaya)
Discussion about this post