Ambon, salah satu kota yang paling ingin saya kunjungi di Indonesia. Selain Sabang, Banda Aceh, Padang, Gorontalo, Merauke, dan masih banyak lagi. Entah mengapa, mungkin hanya karena “Ambon” terdengar eksotis di telinga.
Semangat saya menggebu ketika berangkat ke sebuah kegiatan di Ambon pada Minggu lalu, 12 Maret 2017. Awalnya agak kecewa karena ternyata jadwal acara di sana hanya satu hari. Rugi di perjalanan bila cuma satu hari, pikir saya. Maka beberapa hari sebelum bertolak, saya sudah berpesan kepada administrator kantor agar tak buru-buru membelikan tiket pulang. “Pingin extend beberapa hari di Ambon, Mbak!” yakin saya.
Sesampai di hotel sekelas melatinya Ambon, serasa agak mati gaya. Mau ngapain? Relatif tidak ada hiburan yang bisa dinikmati. Setelah mencoba lacak lokasi di google map, malah baru tahu bahwa lokasi hotel saya ada di Teluk Ambon, atau sebelah selatan dari bagian utara Pulau Ambon. Selancar dulu lagi di internet, cari-cari tempat wisata, ternyata semua jauh. Adanya di Ambon kota, bukan di teluk. Saya harus memikirkan cara lain untuk bisa menikmati Ambon.
Sore yang nganggur setelah semua persiapan acara usai, saya turun ke resepsionis hotel bermaksud membeli sampo. Sambil kembali ke kamar di lantai dua, baru menyadari bahwa persis di belakang hotel kami ada laut yang benar-benar bisa buat berenang. Awalnya sempat acuh karena janji bahwa kamar kami sea-view alias menghadap pemandangan laut ternyata bohong. Lebih tepatnya, jendela kamar saya menghadap samping hotel, bila menengok ke kiri baru akan terlihat sedikit air lautnya. Nampak juga ada beberapa anak kecil dan seorang ibu yang berenang di laut. Kemudian saya tanya kepada pemilik hotel, apakah memang airnya bersih untuk berenang? Ia meyakinkan saya bahwa airnya resik, bahkan anak-anaknya sering berenang di sana.
Jam sudah menunjukkan pukul 16.45 WIT dan langit masih terang benderang. Saya buru-buru mengganti jilbab dengan dalaman ninja, baju dalam yang biasa digunakan perempuan berkerudung untuk berenang. Kemudian turun dan minta izin untuk meminjam kacamata renang kepunyaan anak pemilik hotel. Bukannya apa-apa, saya cuma enggan saja mata perih karena terkena air asin, seperti yang saya alami zaman SMA di Pantai Karanggongso saat berkemah. Sementara bajunya tetap memakai baju formal dan celana panjang joger sejak berangkat.
Ternyata benar. Warna air laut yang keabuan tidak lain hanya karena pasir dan bebatuannya berwarna abu-abu. Selebihnya, semua bening. Suhu air hangat, karena sinar matahari telah memanggang laut itu seharian. Melihat ada kapal minyak bersandar tak jauh dari bibir pantai, membuat saya spontan bertanya pada ibu yang menemani anaknya berenang di sana, apakah kapal itu mengotori laut? Refleks pula ibu itu menggelengkan kepalanya. Kapal besar yang belakangan terlihat jelas dari seberang kota itu adalah kapal tangki pemasok bahan bakar minyak untuk penduduk Ambon. “Lagian kapalnya nggak buang limbah di laut ini, Mbak,” imbuhnya.
Alhasil, saya betah berenang di pantai yang menurut tukang ojek bernama Pantai Kotajawa ini. “Sesuai nama daerahnya,” katanya. Karena airnya landai dengan ketinggian hanya sebatas leher, saya masih bisa menjangkau sejauh 20 meter dari tepi pantai. Kedamaian suasananya sangat menggoda untuk berlama-lama.
Sebenarnya, ini semua hanya karena ingin merasakan sekaligus membuktikan bagaimana kenikmatan berenang langsung di laut lepas tanpa rencana. Seperti yang dilakukan Trinity di buku serial The Naked Traveler yang sering saya baca. Jadi, menurut saya pribadi, ada beberapa perbedaan rasa antara berenang di laut lepas dan kolam renang.
Pertama, airnya asin. Jelas sekali saya tidak mau ambil risiko mata perih, jadi pakai kacamata renang. Kedua, jika sedang agak berombak, tubuh mau tidak mau akan terbawa arus laut, entah mendekati atau justru menjauhi bibir pantai. Kuncinya tetap tenang, agar bisa mengatur nafas dan tidak kehilangan arah. Kalau panik, tentu mudah tenggelam. Ketiga, kita tidak pernah tahu ada hewan apa saja di pantai itu. Jadi tidak ada salahnya bertanya kepada yang biasa renang di sana, misal apakah ada ubur-ubur atau bulu babi yang harus diwaspadai. Syukurnya, pantai yang saya renangi aman-aman saja. Ujung jempol kaki hanya terantuk batu, cuma beri perih beberapa hari ke depannya.
Saya beranjak dari laut menjelang maghrib. Di Ambon maghrib pukul 19.00 WIT. Lalu makan malam bersama teman-teman di hotel. Pinginnya cari papeda alias sagu yang dimasak sampai seperti lem, disiram kuah ikan. Nyatanya, kami malah makan KFC. Iya, di Ambon juga ada KFC, kok.
Hiburan di kala malam di teluk relatif tidak ada. Akhirnya kami menyewa angkot untuk ke… mall. Entahlah apa asyiknya ke luar pulau kalau hanya untuk ke mall yang jelas-jelas di Jawa jauh lebih banyak dan bagus. Tapi daripada hanya di hotel saja, akhirnya saya ikut. Angkot kami sempat berhenti dan foto-foto di Jembatan Merah Putih (JMP) yang baru diresmikan Presiden Jokowi tahun 2016. Menghubungkan antara Teluk Ambon dan Kota Ambon. Jembatannya sangat mirip dengan Jembatan Ampera di Palembang, Sumatera Selatan. Bedanya hanya JMP lebih baru saja, sehingga masih terlihat bersih. Lampunya berkelap-kelip bergantian warna antara merah, kuning, hijau, dan ungu.
Jika ada yang bisa dinikmati di Maluku City Mall (MCM), itu adalah sajian live lomba modern dance cowok yang digelar di lantai dua. Gerakannya enerjik, rancak, dengan musik yang menggugah semangat. Apalagi ada battle one on one, semacam tanding dance satu lawan satu dari masing-masing grup, yang dari gerakannya ada unsur-unsur mengejek lawan mainnya. Justru itu yang membuat penonton berteriak histeris mendukung jagoannya. Mengingatkan saya pada grup dance Funky Papua yang tayang di Indonesia Mencari Bakat. Pukul 22.00 WIT kami kembali ke hotel karena esoknya akan melaksanakan kegiatan utama.
Hari ketiga dan keempat saya memutuskan melepaskan diri dari rombongan dan pindah hotel di Ambon kota untuk traveling sendirian. Saat itu, petualangan sebenarnya barulah dimulai.
Netizer : Fatma Puri
Editor : Puguh Asmani