PATUNG setinggi 3 meter ini pertama kali ditemukan pada zaman kolonial Belanda. Saat itu, warga Desa Bulupasar, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, tak menyangka jika dari gundukan tanah, terkubur arca raksasa.
Matanya melotot, berbadan tambun dengan posisi tubuh setengah berlutut, serta menggenggam senjata gada. Masyarakat Kediri mengenal patung yang diukir dari batu andesit ini dengan sebutan Totok Kerot.
“Nama Totok Kerot sebenarnya berasal dari cerita lisan. Dalam dunia arkeologi, patung itu disebut sebagai dwarapala,” ujar Aang Pambudi Nugroho, kandidat master Arkeologi Universitas Gajah Mada (UGM), Selasa, 11 Mei 2021.
Aang menerangkan, istilah dwarapala berasal dari bahasa Sansekerta. Dwara memiliki arti penjaga, dan pala yang berarti pintu. Sesuai arti harfiahnya, patung ini digunakan sebagai penjaga pintu masuk candi atau bangunan suci di masa lampau. Jika ditemukan dwarapala, hampir dipastikan bahwa di tempat tersebut pernah dibangun sebuah candi.
Menurut kajian literatur yang pernah dilakukan Aang, nama Totok Kerot diambil dari kata totok yang berarti mulut dan kerot yang berarti menggeram. Memang jika diperhatikan, ekspresi wajah dari arca dwarapala digambarkan seperti seseorang yang sedang marah.
“Patung Totok Kerot ini dibuat pada masa Kerajaan Kediri,” kata Budi, Juru Pelihara Arca Totok Kerot.
Dia menambahkan, benda arkeologis ini bisa dipastikan dari Kerajaan Kediri berdasarkan hiasan Candrakapala di atas kepala patung. Candrakapala adalah hiasan tengkorak bertaring di atas bulan sabit, yang merupakan lambang dari Kerajaan Kediri.
Menurut Budi, lengan sebelah kiri patung putus ketika diangkat ke permukaan pada era kolonial Belanda. Arca yang tak bisa diangkat akhirnya dibiarkan, hingga gundukan itu ditemukan kembali oleh warga Desa Bulupasar pada 1981.
Sesuai fungsinya sebagai penjaga bangunan suci, seharusnya di belakang Totok Kerot terdapat bangunan besar berupa candi. Akan tetapi, ekskavasi yang dilakukan di sekitar situs pada tahun 2005, tidak menemukan sisa reruntuhan bangunan. Begitu pula benda arkeologis yang mendukung keberadaan sebuah candi.
“Untuk kasus Totok Kerot, mengapa belum ditemukan candinya, karena bisa jadi bangunan candi memang tidak pernah dibangun,” ujar Aang.
Ketua Komunitas Jawa Kuno (KOJAKUN) Sutasoma ini menambahkan, pembangunan candi untuk pemujaan pasti mendahulukan pembuatan dwarapala. Itu sebabnya banyak ditemukan candi yang masih belum jadi, tetapi arca-arcanya sudah digarap sempurna.
Ukuran sebuah dwarapala nantinya akan menentukan skala pembangunan candi. Aang meyakini jika Totok Kerot yang dibuat raksasa merupakan megaproyek candi kerajaan yang gagal.
Dia melanjutkan, dalam naskah-naskah kuno dijelaskan, ada dua peristiwa yang membuat pembangunan candi tidak dilanjutkan. Pertama, karena adanya bencana alam. Kedua, karena serangan musuh atau disebut pralaya.
Ketika ada pralaya di masa itu, pantang bagi silpin atau sang pembuat candi untuk meneruskan pekerjaannya. Dari kedua alasan tidak dilanjutkannya pembangunan candi, Aang mengatakan bahwa serangan musuh merupakan kemungkinan terbesar adanya pralaya.
“Era Kerajaan Kediri merupakan masa yang rawan konflik, kemungkinan sebelum masuk tahap pembangunan candi, musuh sudah menyerang lebih dulu,” kata Aang.
Menurutnya, bisa jadi karena perang berkepanjangan, megaproyek candi kerajaan ini tidak dilanjutkan. Patung dwarapala candi biasanya terdiri dari dua arca kembar. Pasangan Totok Kerot pun juga belum sempat dibuat.
Kondisi rawan perang itu diperkuat dengan posisi Totok Kerot yang setengah berdiri. Posisi dwarapala mereprentasikan bagaimana situasi saat itu. Dwarapala dengan posisi berdiri menandakan situasi perang. Sedangkan dwarapala dalam posisi duduk, menandakan kondisi sedang kondusif.
Terlepas dari ada tidaknya candi yang dijaga dwarapala raksasa ini, menurut Aang, Totok Kerot layak untuk diteliti lagi secara mendalam. Di antaranya, dengan melakukan ekskavasi dan merancang peta persebaran situs arkeologis di sekitar situs Totok Kerot. Dengan upaya tersebut, setidaknya dapat memberi gambaran tentang sejarah Kerajaan Kediri yang hingga saat ini masih banyak yang belum terungkap. (Fajar Eko Ugiyanto,Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNP Kediri, sedang magang di Kediripedia.com dalam Program Kampus Merdeka Kemendikbud)
Discussion about this post