PEMBANGUNAN sarana transportasi di Indonesia kini sedang ramai dikerjakan. Berdirinya bandara, rel kereta api, terminal, dan pelabuhan tentu semakin memudahkan kunjungan ke suatu daerah. Namun, maraknya percepatan transportasi itu tak berguna bagi pegiat Wayang Mbah Gandrung di Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Kesenian asal Desa Pagung di lereng Gunung Wilis ini memang unik. Jika wayang hendak dipentaskan, semua peralatan tidak boleh dinaikkan kendaraan. Wayang, kenong, gong, rebab, kendang, dan gambang, harus dibawa ke lokasi pementasan dengan berjalan kaki.
“Ini adalah syarat wajib pementasan, tradisi ini masih terus dijaga dan dirawat,” kata Abdul Akad, Dalang Wayang Mbah Gandrung, Selasa, 8 November 2022.
Lelaki 65 tahun ini sudah 4 tahun mengemban amanah sebagai dalang. Menurut cerita para pendahulu, wayang harus dibawa dengan jalan kaki karena enggan diantar menggunakan moda transportasi. Baik itu cikar, pedati, mobil, bahkan sepeda pancal juga tidak boleh.
Dari peristiwa itu, wayang kebanyakan hanya ditampilkan di Desa Pagung dan kawasan di sekitar Kediri. Adanya syarat berjalan kaki tersebut, pementasan Mbah Gandrung jarang atau bahkan tak pernah digelar di daerah lain.
“Jika ingin tampil di tempat yang jauh harus mengadakan persemedian terlebih dahulu serta ritual selamatan,” ujar Abdul Akad.
Pria yang sehari-hari bekerja sebagai pedagang bakso ini merupakan dalang generasi ke sembilan. Para pendahulunya yaitu Kartoyoso, Kartodimedjo, Guno, Sarwi, Ngalibon, Kasedi, Mbah Kandar, dan Mbah Giyar. Pada tahun 2008, Mbah Kandar menerima penghargaan sebagai maestro seni tradisi. Penghargaan itu diberikan oleh Jero Wacik, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dari sembilan dalang itu tidak semuanya punya ikatan keluarga. Amanah menjadi sutradara pementasan wayang dipilih berdasarkan wangsit atau wahyu. Menurut kepercayaan warga, wayang Mbah Gandrung sendiri yang menentukan siapa yang berhak menjadi dalang.
“Saya mendapat wangsit menjadi dalang pada 2018, sepulang bekerja di Kalimantan,” kata Akad.
Nama Wayang Mbah Gandrung diambil dari tokoh utama pementasan. Sejumlah tokoh wayang di antaranya Mbah Gandrung, Eyang Gandrung, Joko Luar, Mbah Raden, dan Mbah Semar. Sedangkan lakon atau cerita yang dimainkan yaitu Damarwulan, Baron Sekeber, Dewi Sekartaji, serta kisah-kisah dari Kerajaan Majapahit.
Tidak ada hari khusus untuk mementaskan Wayang Mbah Gandrung. Namun, syarat wajibnya saat pahing atau legi dalam kalender Jawa. Wayang ini secara rutin dipentaskan satu tahun sekali pada tanggal 1 bulan asyura’ di Balai Desa Pagung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri.
Pementasan wayang Mbah Gandrung sama halnya seperti Wayang Krucil. Di panggung kecil, kain jarik dipasang melintang dan sejajar hingga membentuk lubang segi empat. Bentuknya mirip jendela, sehingga dalang dan anak wayang seperti berada di dalam televisi. Sepanjang pentas, irama gamelan mengiringi jalannya cerita.
“Wayang ini bukan sekadar tontonan, tapi untuk orang nazar,” kata Akad.
Nazar adalah janji berbuat sesuatu jika apa yang diinginkan tercapai. Artinya, hanya orang-orang yang punya nazar saja yang boleh nanggap atau meminta Wayang Mbah Gandrung tampil. Misalnya, seorang bapak yang anaknya tengah sakit keras, lalu dia bernazar akan menggelar pementasan apabila anaknya sembuh.
Orang yang nanggap Mbah Gandrung tidak hanya dari Kediri, tapi ada juga yang dari luar Pulau Jawa. Jika yang nazar orang jauh, maka pentas bisa digelar di rumah dalang atau di Balai Desa Pagung. Sebab, wayang mustahil bisa sampai ke lokasi karena harus diantar dengan berjalan kaki.
Ketika Mbah Gandrung ditampilkan, cara penyajiannya amat sederhana dan sama sekali tak ada kesan megah. Seni asal Kediri ini memang tidak ditujukan untuk menarik perhatian penonton, akan tetapi sebagai pemenuhan rohani para pengucap janji. (Alfi Nur Af’idah, Mahasiswa Program Studi Sosiologi Agama IAIN Kediri, sedang magang di Kediripedia.com)
Discussion about this post