HAMPIR seluruh sumber air di lereng Gunung Kelud kini dijadikan destinasi wisata. Beberapa tahun belakangan, pemerintah desa setempat berlomba-lomba mempercantik mata air sebagai lokasi piknik. Alhasil, sektor ekonomi desa mulai bergeliat, namun di sisi lain menimbulkan resiko kerusakan ekosistem.
Kondisi ini mendorong Komunitas Oleng-oleng Indonesia bergerak menyuarakan pentingnya merawat sumber air. Gerakan para aktivis lingkungan asal Kediri, Jawa Timur itu bukan hendak menutup tempat-tempat wisata. Mereka mengajak masyarakat berdiskusi bagaimana mengelola mata air dengan memperhatikan kesehatan lingkungan. Misalnya, mengatur sampah hingga penanaman pohon.
“Selain wisata, sumber air digunakan untuk konsumsi warga, serta irigasi sawah, jadi penting untuk menjaganya tetap lestari,” kata Heri Dwi Kuryanto Koordinator Oleng-oleng Indonesia, Jumat 29 Desember 2023.
Komunitas yang berdiri pada 23 Oktober 2020 ini sekarang fokus ke tiga kecamatan di lereng Gunung Kelud. Di antara, Wates, Plosoklaten, dan Ngancar. Nama Oleng-oleng diambil dari hama tumbuhan yang hidup di dalam batang pohon. Pemilihan nama ini sebagai refleksi bahwa manusia bisa berpotensi seperti hama yang merusak lingkungan.
Selama tiga tahun eksis, komunitas itu kerap menggelar penanaman bibit pohon di puluhan sumber air di Kediri. Bukan hanya sebatas menanam saja, melainkan mengawal dan merawatnya sampai tumbuh. Pohon-pohon ini ke depannya berfungsi untuk konservasi tanah, menjaga siklus air dan udara, serta menjadi rumah para hewan.
Menurut Heri, hal tak kalah penting yaitu mengajak masyarakat berkontribusi merawat alam sekitar seperti mata air, sungai, dan hutan. Pada masa awal berdiri, Oleng-oleng sempat mendapat penolakan dari warga di wisata alam Alaska, Wates, Kabupaten Kediri. Ketika menyampaikan bahaya sampah dan memotong akar pohon besar, mereka dianggap mengganggu para pedagang.
“Kami mengedukasi agar manusia dan alam bisa hidup berdampingan. Tapi malah hampir ribut, karena kami disangka berniat menguasai kawasan,” ujar pria 58 tahun itu.
Lelaki lulusan Universitas Negeri Jember itu menambahkan, anggota komunitas jumlahnya 30 orang. Mulai dari petani, perangkat desa, dan masyarakat di desa-desa seperti Tempurejo, Kayunan, Tunge, Plaosan, Jambu, Tawan, dan Gondang.
Sebelum menggelar penanaman pohon, mereka terlebih dulu melakukan fase pembibitan pada musim kemarau. Ketika memasuki musim penghujan, bibit yang sudah bersemi itu baru ditanam. Pembelian bibit pohon itu diperoleh dari dana iuran anggota yang dikumpulkan setiap satu bulan sekali.
Sejumlah anggota lain ada pula yang menanam bibit di rumah masing-masing. Ketika ada kegiatan menanam, pohon-pohon itu dikumpulkan di basecamp Oleng Oleng Indonesia di Desa Tunge, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri.
Beberapa jenis bibit tanaman itu di antaranya trembesi, mahoni, karet, durian, mangga, kepuh, cangkring, beringin, randu, hingga kemiri. Untuk ukuran bibit pohon yang hendak ditanam minimal berukuran 8-10 sentimeter. Selain fokus bergerak di Kabupaten Kediri, Oleng-oleng juga menyasar kawasan seperti Trenggalek, Blitar, Jombang dan Yogyakarta.
“Penanaman pohon disesuaikan dengan lokasi, sebelumnya kita sudah survey kira-kira tanaman apa yang cocok dengan ekosistemnya,” kata Pulung Tursulowanto, anggota Oleng Oleng.
Pulung sehari-hari bekerja sebagai Kepala Dusun Sindurejo, Desa Kunjang, Kabupaten Kediri. Bersama komunitasnya, dia berencana menanam 2500 pohon di kawasan tempat tinggalnya yaitu Alas Lindung Alam. Bentangan lahan yang akan ditanam seluas 6 hektar, yang telah dimulai dari awal Desember 2023 dan kemungkinan selesai pada Januari 2024. (Moh. Yusro Safi’udin)
Discussion about this post