ALUNAN irama gendhing Jawa mengiringi gerak tiga penari perempuan. Nokha Salsa Bila, Listifatul Hidayah, dan Retno Dwi Cahyani, memainkan tarian Garuda Nusantara dengan amat ekspresif dan percaya diri. Mereka bergerak kompak mementaskan berbagai formasi tarian seperti lazimnya penari profesional.
Namun, siapa yang menyangka jika ketiga penari ini adalah penyandang disabilitas tuna rungu. Mereka merupakan murid SMA dan SMP di Sekolah Luar Biasa Budi Mulya, Desa Sumberejo, Kecamatan Kandat, Kabupaten Kediri.
“Kami membuat kode khusus agar gerakan tari mereka sesuai dengan tempo lagu,” ujar Suyati, guru sekaligus pelatih ekstrakulikuler tari di SLB Budi Mulya, Rabu 27 April 2022.
Ketika musik diputar, perempuan 44 tahun itu berdiri di antara penonton untuk menyampaikan isyarat berupa gerakan tangan. Kode tersebut memungkinkan seseorang dengan keterbatasan pendengaran, bisa mementaskan gerak tari selaras dengan iringan lagu.
Misalnya, saat Suyati membuat gerakan membuka dan menutup telapak tangan, itu menandakan dimulainya pentas. Selain itu, tepukan tangan digunakan untuk mengakhiri satu pola tarian lalu berganti ke pola selanjutnya.
Pentingnya kode tersebut, membuat pandangan para penari tak boleh lepas dari gerakan tangan Suyati. Sebelumnya, mereka sudah menghafal seluruh koreografi dalam metode hitungan. Sehingga, pada saat tertentu penari harus melirik ke arah penonton agar pementasan lebih terlihat atraktif dan komunikatif.
“Kunci kesuksesan penampilan tari ini terletak pada saat latihan,” kata Suyati.
Sebelum melakukan latihan, murid-murid itu akan menonton video seni tari. Upaya itu dilakukan agar mereka punya referensi saat mempelajari setiap detail gerakan dasar tari. Misalnya koreografi stilatif atau gerak tarian halus dan indah, serta improvisasi lainnya.
Dalam setiap pertemuan, mereka hanya berlatih 3 sampai 4 gerakan. Pola itu terus diulang hingga benar-benar hafal, baru kemudian berlanjut ke gerakan selanjutnya. Untuk satu pementasan tari, waktu yang dibutuhkan sekitar 2 bulan.
Ketika memberikan arahan dan memotivasi, Suyati menggunakan Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI). Agar proses latihan terasa cair dan asyik, candaan kerap dilontarkan di sela-sela latihan.
“Sejak awal kami sudah menanamkan kepercayaan diri, hal itu juga amat penting agar mereka bisa mementaskan tari seperti anak-anak yang lain,” ucap Suyati.
Tiga penari difabel tuna rungu tersebut beberapa kali tampil pada perayaan hari besar nasional di Kediri dan sejumlah daerah lainnya. Di antaranya, pementasan tari lenggang poyang di Balai Besar Rehabilitas Sosial Penyandang Disabilitas Interlektual (BBRSPDI) Kartini di Temanggung, Jawa Tengah. (Ryan Dwi Candra)
Discussion about this post