Pengantar Redaksi:
Dalam kurun waktu 1983 hingga 1985, puluhan gadis belia di Kediri diculik dan diperkosa. Rentetan kasus yang bermunculan selama 3 tahun itu ditengarai ulah sosok yang kelak dijuluki “Sumo Bawuk”. Kediripedia.com tergerak untuk menggali kembali peristiwa Sumo Bawuk. Sudah empat puluh tahun kisah itu berlalu, namun teror menakutkan ini masih melekat di ingatan masyarakat Kediri. Siapa dia sebenarnya? Apakah dia mitos, urban legend, atau malah alat propaganda pemerintah Orde Baru, akan terjawab pada penelusuran serta reportase mendalam yang kami lakukan.
HIASAN kaligrafi huruf Arab menempel pada dinding ruang tamu. Saat hari menjelang petang, Widji—sang pemilik rumah—duduk di ruangan bercat hijau itu sembari menunggu waktu sholat Maghrib. Beberapa tahun lalu, dia pernah mengusir seorang jurnalis yang hendak mengorek kembali peristiwa Sumo Bawuk. Namun, Kediripedia.com berhasil mewawancarainya pada Sabtu, 8 Juni 2024.
Lelaki berusia 67 tahun ini tak menampik jika dia adalah salah satu murid Sumo Salidi. Bersama gurunya, Widji ikut dijebloskan ke penjara pada 1984. Dia dijatuhi hukuman 7 tahun penjara karena upaya pemerkosaan gadis belia di Plosoklaten, Kabupaten Kediri.
“Saya belajar ajian Tulak Gaman pada mbah Sumo,” kata Widji.
Menurutnya, ilmu bela diri itu bisa membuat seseorang kebal senjata. Tak hanya itu, ajian tersebut bisa menyembuhkan orang sakit, serta menangkal guna-guna atau santet.
Untuk menguasai ilmu ini, Widji harus memenuhi beberapa syarat. Di antaranya, puasa tiga kali 24 jam, kenduri dengan dua ekor ayam, dan menyediakan kain kafan seukuran tubuh.
“Tidak ada syarat harus memperkosa gadis,” ujar Widji.
Dia mengaku memang kerap mengunjungi rumah Sumo di Desa Bedug. Sejumlah ritual sudah dijalani, hingga pada akhirnya Sumo memberinya keris Panggang Lele. Jika dibacakan mantra, pusaka ini konon bisa membuat pemiliknya mempunyai kemampuan menghilang.
Widji beberapa kali mencoba kesaktian keris itu. Namun, upayanya gagal, dia tetap bisa dilihat. Saat kasus pemerkosaan berantai tengah marak, keris Panggang Lele ini akhirnya malah membuat Widji mendekam di sel tahanan. Kepolisian menjadikan pusaka itu sebagai barang bukti kejahatan.
Polisi menangkap Widji di rumahnya yang berada di Desa Bangkok, Gurah, Kabupaten Kediri. Saat diinterogasi, dia selalu menyangkal jika sudah melakukan aksi pemerkosaan. Dia juga tak pernah disuruh Sumo untuk melakukan rudapaksa terhadap anak di bawah umur.
“Saya berani sumpah dalam bentuk apapun. Saya tidak pernah melakukan kejahatan itu,” kata Widji.
Dia terpaksa mengaku karena sudah tak kuat menahan pukulan ketika diinterogasi. Beberapa hari kemudian, proses rekonstruksi kejadian digelar. Widji menerangkan bahwa saat malam hari korban diculik lewat pintu belakang. Keterangan asal-asalan itu tak sesuai fakta lapangan. Rumah korban ternyata tak mempunyai pintu belakang.
Pembelaan terus dilakukan, namun proses pengadilan tetap berjalan. Dalam proses peradilan itu, Widji sebenarnya menangkap kejanggalan. Saat itu, korban didatangkan ke pengadilan. Tiga murid Sumo yaitu Widji, Paryono, dan Sumadji diminta berdiri sejajar. Gadis itu disuruh menunjuk pelaku pemerkosa yang bernama Widji. Hasilnya, tunjukan korban keliru, dia mengarahkan tudingan ke orang lain.
“Saya pikir dari kesalahan itu akan bebas, namun saya tetap dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara,” kata Widji.
Tak jadi menghirup udara segar, Widji ditempatkan di penjara yang terletak di Gunung Klotok Kediri. Dari putusan hakim, dia mendapatkan remisi hukuman jadi lima tahun. Semasa hukuman berjalan, dia dibebaskan keluar penjara dan berinteraksi dengan warga sekitar. Bahkan dia dibolehkan pulang untuk beberapa saat.
Selesai masa hukuman, Widji tak pernah menuntut keadilan. Dia kembali diterima di kehidupan bermasyarakat, tapi rasa traumanya pada jeruji besi masih membekas hingga sekarang.
Ketimpangan proses peradilan itu juga dirasakan Sumadji, murid Sumo yang juga ikut dijebloskan ke penjara. Dia adalah terduga pelaku yang ditangkap paling belakangan setelah Widji dan Paryono.
“Saya hanya sekali berkunjung ke rumah mbah Sumo, itupun hanya diajak kenduri,” kata Sumadji ketika ditemui Kediripedia di rumahnya di Desa Blabak, Kandat, Kabupaten Kediri.
Saat kabar pemerkosaan anak menyebar hingga ke seluruh kawasan Kediri, pria 61 tahun inii kut menggiatkan Siskamling di lingkungan tempat tinggalnya. Saban malam hari, dia ikut ronda.
Usai penangkapan Widji dan Paryono, Sumadji yang terdeteksi sebagai murid Sumo ikut diciduk polisi. Saat itu, dia bekerja sebagai tukang bangunan. Keahlian tersebut membuat seorang perangkat desa mengajaknya menggarap proyek di Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri.
“Saya dijebak, ternyata saat itu saya dibawa ke kantor Polsek Semen,” kata Sumadji.
Dia menambahkan, polisi memaksanya mengaku sebagai salah satu pelaku pemerkosaan massal. Sama seperti Widji, selama proses interogasi itu dia beberapa dipukul, hingga akhirnya terpaksa mengaku. Dari Polsek Semen, Sumadji dipindah ke Polsek Ngadiluwih, lalu dijebloskan bersama Sumo di Polres Kediri yang berada di Pare.
“Selama 3 bulan dipenjara, meteran untuk mengukur bangunan proyek masih ada di kantong,” ujar Sumadji.
Pada proses pengadilan, dia didakwa telah memperkosa gadis asal Kolak, Ngadiluwih. Barang buktinya berupa sarung. Namun, Sumadji bersikukuh bahwa sarung itu bukan miliknya. Dia juga tidak pernah menjumpai korban yang dihadirkan di persidangan. (Dimas Eka Wijaya) Bersambung~~~
Tulisan Serial Sumo Bawuk:
Serial Sumo Bawuk 1: Mengungkap Kembali Tragedi Pemerkosaan Anak Secara Massal di Kediri
Serial Sumo Bawuk 2: Sumo Dituduh Menyuruh Murid-muridnya Melakukan Pemerkosaan Massal
Serial Sumo Bawuk 4: Sumo Bawuk Dianggap Kambing Hitam Kasus Perkosaan Massal
Serial Sumo Bawuk 5: Stigma Negatif Sumo Bawuk Menyandera Warga Sekitar Hingga Kini
Discussion about this post